Belajar Mandiri

Thursday 28 February 2013
Suatu ketika aku bertemu dengan dua orang temenku sedang ngobrol di kantin kantor.
Aku pun menggabungkan diri di tengah percakapan mereka yang terlihat serius *untung aku ga diusir
Aku pura-pura tidak mendengar apa yang mereka obrolkan meski aku memasang telinga lebar-lebar karena jiwa ibu-ibu rumpiku sangat tinggi.
Hingga akhirnya keluar pernyataan dari mereka "Ga enak ya mbak kalo hidup di rantau, jauh dari orang tua"
Welehhh ternyata mereka lagi ngomongin tentang hidup di rantau..

Dengan tampang serius aku menjawab "iya sih emang enak kalau dekat dengan orang tua, tapi jauh dari orang tua bisa membentuk diri kita menjadi lebih mandiri. Tuh lihat si A, dia dari kecil belum pernah pisah dari orang tua. Bahkan setelah menikah, dia berat untuk tinggal jauh dari orang tua meski dia udah punya rumah sendiri. Padahal yang penting dalam kehidupan berumah tangga itu adalah bareng suami. Apapun yang terjadi, harus dihadapi bersama-sama dengan suami" * kalo aku sih merasa beruntung karena suamiku berprinsip " Kalau bisa hidup berumah tangga jauh dari orang tua, biar mandiri dan meminimalisir interferensi"
Dan mereka hanya mengangguk-angguk "iya sih mbak, bener"



Aku jadi teringat beberapa tahun yang lalu, yang tidak perlu aku sebutkan untuk menyamarkan usia, saat lulus SMP, aku benar-benar merasa jenuh dalam keseharianku. Aku ingin banget sekolah di luar kota untuk mencari suasana yang berbeda.
Sesuai saran dari kakakku, seperti biasa, aku mendaftarkan diri ke SMU di Magelang, dan juga SMK di Malang. Selain jenuh, alasanku lainnya karena hasil NEM / UAN SMP saat itu trendnya sedang turun. Aku takut kalo NEM-ku tidak cukup untuk masuk ke SMU favorit di kotaku. Aku takut orang tuaku malu kalau aku tidak bisa mengikuti jejak kakakku.
Kalau sekolah di luar kota khan pakai sistem tes, jadi aku ada kesempatan untuk belajar lagi..
Alhamdulillah, ternyata aku keterima di SMU favorit di kotaku dan juga SMK di Malang. Orang tuaku pun akhirnya menyetujui aku sekolah di Malang meski harus mengeluarkan biaya jauh lebih banyak untuk SPP, uang kos, dan biaya hidup di sana.


Perjuangan di mulai..
Aku yang belum terbiasa pisah dengan orang tua harus mulai beradaptasi dengan orang-orang baru dan lingkungan baru.
Harus cari kost yang murah dan enak, harus bisa mengatur keuangan, dan menjaga diri sendiri. Di lingkunganku yang baru aku berusaha mencari jati diri, karena selama ini aku lebih dikenal sebagai "anaknya pak RT" (di rumah) atau "adeknya ima" (di SD dan SMP).
Aku ingin dikenal sebagai Nia tanpa embel-embel apapun, dan itu bukan hal yang mudah. Aku bukan orang yang supel, aktif organisasi, maupun mudah bergaul. Bahkan aku sering minder dengan teman-temanku. Sering aku terpaksa mencari jalan memutar untuk menghindari ketemuan dengan kakak kelasku di jalan  (90% siswa di sekolahku adalah anak perantauan).


gambar minjem di sini
Selama di malang aku sering banget pindah kost untuk mencari yang benar-benar nyaman, hingga akhirnya aku mendapatkan tempat kost yang lumayan bersih, ibu kostnya baik, dan rumahnya enak, meski aku harus mengeluarkan uang lebih. Karena jatah yang aku dapatkan dari orang tua pas-pasan, aku benar-benar harus pandai mengatur keuangan. Makan sehari aku siasati 2x saja yaitu pukul 10.00 (brunch) dan pukul 16.00 (maksi plus makan malam), karena kalau harus makan 3x uangku ga cukup. Jajan juga jarang banget, paling hari Minggu beli cenil dan nasi jagung di pasar untuk sarapan dan makan siang. Namun aku juga beruntung punya teman kostan yang baik banget, karena dia suka mentraktir aku, dan bahkan merelakan sepatunya aku pinjem saat sepatuku jebol karena aku takut minta ke orang tuaku. Toh kupikir sepatuku jebol saat aku udah kelas 3, ga nyampe setahun lagi udah kelar, sayang kalo beli sepatu..
Aku hanya dapat tambahan uang kalau sedang mudik ke kotaku, itupun ga banyak. Itulah kenapa aku lebih sering pulang naik kereta yang ongkosnya 2500 dibanding bus yang ongkosnya 4500.

Pernah suatu ketika aku benar-benar kehabisan uang sehingga aku harus pulang untuk minta ke ortu (belom jaman transfer dan dibekali atm). Mana jam sekolahku sampai pukul 2 siang, padahal kereta malang - kediri adanya jam 1 siang. Kalo minta ijin pulang dengan alasan di atas jelas ga mungkin. Akhirnya aku minta surat ijin pulang cepat dengan alasan sakit. Benar koq aku ga boong. Aku pusing kalo ga pulang sekarang naik kereta. Soalnya kalo naik bus uangnya ga bakal cukup :)
Aku sudah menghitung dan mengumpulkan recehan-recehan yang ada, dan cuma terkumpul 2800 rupiah. Alhamdulillah masih cukup untuk pulang. 200 rupiah untuk naik angkot ke stasiun, 2500 untuk beli karcis kereta, dan 100 rupiah untuk telp bapakku sesampainya di Kediri untuk menjemputku. Alhamdulillahnya lagi, seratus rupiah terakhir yang ku punya tidak menggelinding sehingga aku bisa dijemput.

Aku yang biasanya minum susu setiap hari jika di rumah, saat kost tidak bisa menikmatinya. Selain karena aku malas bikin, kadang kalo susu bekal dari orang tuaku udah habis aku sayang untuk beli susu. Mending buat makan!
Tapi akhirnya aku merasa susah nangkep pelajaran. Kayaknya otakku lemoottt banget..
Entah itu sugesti apa emang susu memiliki peranan penting dalam pertumbuhanku.
Masa-masa liburan atau mudik ke rumah adalah hal yang paling menyenangkan, karena itu berarti PERBAIKAN GIZI.

Alhamdulillahnya, karena sudah terbiasa kost sejak SMA, aku jadi terbiasa mandiri. Aku yang kuper, ternyata bisa bertahan hidup juga saat jauh dari orang tua. Bahkan saat akhirnya kakakku menyusul kerja ke Jakarta, ibuku bilang ke aku "titip kakakmu ya" Walah dalah, ya kebalik dongg bu!!
Alhamdulillahnya lagi, aku cukup merasakan menjadi anak kost 10 tahun saja, karena setelah itu aku menikah dan hidup dengan suami.
Meski awalnya aku ragu, bisa gak ya aku berbagi dengan orang lain karena telah cukup lama ngekost yang notabene bisa "sak enak udel-e dhewe", mau ngapain aja terserah, eh harus berbagi ranjang dengan orang lain. Namun ternyata ketakutanku tidak menjadi kenyataan.
Justru aku bersyukur karena aku jadi tidak terlalu menggantungkan diri ke suamiku untuk mengantarku kemana-mana. Wah, kalo harus nunggu dianter suami, aku ga bakal bisa kemana-mana dongg hehe..

So, ga ada salahnya koq hidup merantau. Justru orang-orang yang membangun bangsa ini kebanyakan para perantau. Meski banyak kisah sedih, namun lebih banyak lagi kisah menyenangkan. Nambah teman, nambah pengalaman, nambah pengetahuan, itu adalah hal yang tidak ternilai dengan uang :)

"Artikel ini diikutkan dalam Giveaway Gendu-gendu Rasa Perantau"

7 komentar:

Nophi said...

sekolah dimalang mana mbak?? sekarang angkotnya udah 2500 hehe..

yup merantau memang menjadikan kita mandiri, aku juga mulai smk dimalang ngekos dan sekarang masing merantau digorontalo hehe..

semangat anak rantau :D

Lidya Fitrian said...

aku belum pernah merantau mbak, tapi sejak kerja sudah terbiasa tidak serumah walaupun jaraknya tidak terlalu jauh :)

Della said...

Aih, malunya. Aku belum pernah merantau, pantesan aja nggak mandiri ya, wkwkwkwk..

Solochanger said...

yang jelas. dimananapun bumi dipijak, orang tua akan selalu mengirimkan doa untuk anak-anaknya.

semangat ^^

jus manggis murah said...

aku belum pernah jauh dari mamah jadi ga bisa mandiri hehe

obat herbal penyakit said...

salut deh sama ke mandirian nya

Gejala dan pengobatan maag kronis said...

mandiri itu sangat penting dalam kehidupan,mari kita belajar mandiri :)